Rabu, 01 Juli 2015

TIDAK PUNYA PERASAAN

Gejala hilangnya perasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara cenderung semakin meluas belakangan ini.
Para pejabat menuntut kenaikan gaji yang sudah tinggi agar dilipatgandakan, sementara rakyatnya setengah mati mencari uang buat hidup hari ini. Kita pun menyimak ada anak membunuh orangtuanya sendiri, atau sebaliknya orangtua membunuh anaknya sendiri. Gara-gara uang seharga sebungkus rokok, orang bisa berbunuh-bunuhan.
Sementara di belahan lain para koruptor yang tertangkap basah dengan bangga unjuk ketawa di depan kamera. Para anggota DPR minta jatah Rp 20 miliar setiap tahun, sementara pensiunan para guru besar hanya Rp 4 juta setiap bulan, setara dengan UMR yang dituntut para buruh.
Lewat laku
Tidak ada lagi kebenaran rasa. Tenggang rasa sudah lenyap. Orang hanya mau mengenal perasaannya sendiri, tetapi tidak peduli perasaan orang lain. Orang yang tidak peduli perasaan orang lain itulah yang disebut tidak punya perasaan lagi.
Yang berkembang sekarang ini adalah kebenaran dalih pikiran, bukan kebenaran pikiran yang sesungguhnya. Dalih pikiran itu senantiasa bersandar pada bunyi UU dan peraturan yang dibikin manusia sendiri, yang mungkin tanpa perasaan juga.
Bagaimana mereka dapat menghukum sekian tahun atas seorang nenek renta yang dituduh mencuri sekian batang kayu di hutan pemerintah? Putusan pengadilan ini menunjukkan tidak adanya perasaan dan pikiran sekaligus, kalau dibandingkan dengan putusan pengadilan koruptor kelas teri yang dijatuhi hukuman yang hampir mirip.
Benar atau tidak benar itu sama sekali bergantung pada penjelasan pikiran. "Manusia intelektual itu adalah makhluk yang suka penjelasan," begitu tulis novelis Saul Bellow dalam bukunya, Mr Sammler's Planet (1969). Meskipun novel atau karya sastra dan karya seni pada umumnya merupakan penjelasan perasaan (pengalaman), tetapi baru diakui kebenarannya kalau ada kritikus yang mampu menjelaskannya secara pikiran.
Sebaliknya, pada pertengahan abad XIX, pujangga Mangkunegara IV dalam karyanya, Wedhatama, menyebut bahwa ilmu itu terjadinya lewat laku, perbuatan. Memang yang dimaksud adalah "ngelmu" yang berarti pengetahuan mistik, pengetahuan rasa, bukan semata pengetahuan kebenaran pikiran.
Apa yang dimaksud dengan "perasaan" agak berbeda dengan yang kita maksud sekarang, yang hanya meliputi perasaan indrawi, perasaan interaktif sesama manusia atau dengan alam, dan perasaan terdalam di hati nurani. Rasa, dalam tradisi tua Indonesia, adalah kategori religius, perasaan yang amat mendalam akibat pengelaman kesatuan dengan Yang Maha Esa. Laku atau rasa ini tidak dapat dijelaskan dengan pikiran terbatas manusia.
Kandidat doktor Susilo Kusdiwanggo dalam risetnya di masyarakat adat Ciptagelar, Sukabumi, Jawa Barat, mendapat penjelasan dari salah seorang ketua adat setempat. Bahwa, untuk mengetahui Tuhan, orang harus menggarap tanah dengan benar, menanam padi dengan benar, sampai menuai padi, menyimpan, dan menumbuknya dengan benar (sesuai adat). Selama itu Anda lakukan, Anda akan mengenal Tuhan. Ilmu itu terjadinya lewat laku. Lewat penghayatan, lewat pengalaman, dan lewat perasaan.
Bagi nenek moyang bangsa Indonesia, menjumpai dan mengenal Yang Maha Esa itu dengan melakukan kerja mereka sehari- hari. Dengan bekerja itulah terjadi penghayatan rasa "mistik" dengan Tuhan. Setiap langkah kerja mereka sehari-hari sesungguhnya laku ibadah. Itulah sebabnya, nenek moyang Indonesia memiliki cara-cara tertentu untuk melakukan sesuatu bagi kepentingan hidup sehari-hari mereka, memiliki alat-alat tertentu yang telah dipolakan, memiliki syarat jender tertentu, doa sebelum bekerja tertentu.
Tradisi budaya religius Indonesia menyadari bahwa setiap perubahan di dunia dan dalam hidup mereka, Tuhan senantiasa hadir merawat  prosesnya. Perubahan dari biji tumbuh menjadi benih padi adalah atas kehendak-Nya. Perubahan dari padi menjadi beras juga atas izin-Nya. Perubahan beras menjadi nasi atau tumpeng  juga sepengetahuan-Nya. Karena kesadaran yang demikian itu, nenek moyang kita merasakan ketakjuban akan mukjizat kuasa Tuhan setiap hari. Mereka bukan hanya peka rasa, tetapi juga tinggi rasa. Bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu sungguh ajaib luar biasa dalam mengawal setiap perubahan sekecil apa pun di alam semesta ini.
Kearifan yang ditinggalkan
Kebenaran itu adanya di tindakan, di penghayatan atas tindakan itu. Bukan dalam kata-kata, juga bukan dalam pikiran. Pikiran tidak mengubah apa pun, baik dirinya maupun dunia, kecuali telah diwujudkan dalam laku. Dalam hal ini, mistisisme tidak harus penjelasan filosofis yang pikiran belaka, tetapi dalam praksis yang amat pragmatis hidup sehari-hari.
Itulah makna perasaan itu, yang gejalanya mulai ditinggalkan dan dilupakan bangsa ini. Memang perasaan masih punya, hanya rasa yang berhubungan dengan kepentingan dirinya sendiri, sembari menolak perasaan orang lain. Kearifan lama di berbagai daerah budaya di Indonesia menyatakan bahwa aku tiada lain dari kamu, aku adalah kamu sebagai aku, keadaanku adalah keadaanmu dan keadaanmu adalah keadaanku, sudah lama hilang dari ingatan bangsa ini.
Pernyataan-pernyataan serupa itu juga terdapat dalam banyak kitab suci umat manusia, yang menunjukkan bahwa kearifan lokal Indonesia itu sebenarnya juga universal.
Lebih baik tidak punya pikiran daripada tidak punya perasaan. Tidak punya pikiran masih manusia, tidak punya perasaan bukan manusia lagi.

Jakob Sumardjo Budayawan, Kompas 2 Juli 2015

Jumat, 26 Juni 2015

Diam Kita Ikut Membunuhnya


Kita turut berduka ketika jenazah gadis kecil, Engeline, ditemukan setelah sebulan dinyatakan hilang. Ia dikubur dengan boneka di tangan, dekat kandang ayam di rumahnya.
Engeline ternyata tak hilang. Ia sengaja "dihilangkan" di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung. Beberapa tanda kekerasan ada pada jenazahnya.
Rasa kemanusiaan kita mendadak dibangunkan. Apa salah dan dosa gadis kecil itu sehingga diperlakukan demikian brutal?
Gadis kecil yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam keceriaan dan rasa cinta, justru hidup kesepian dan ketakutan.
Beberapa hari setelah hilangnya Engeline menyebar di media Mei lalu, terkuak berita bahwa Engeline sebenarnya sering mendapatkan perlakuan tidak layak dari orang-orang terdekatnya. Kesaksian masyarakat di sekitar membuhul ke kesimpulan, bahwa Engeline tidak diperlakukan dengan wajar. Namun, tak ada laporan bahwa masyarakat yang tahu itu kemudian bertindak.
Fenomena diam dan menjadi pengamat tidak hanya terjadi dalam kasus ini saja.Orang kebanyakan hanya menjadi pengamat justru saat ia seharusnya dapat melakukan sesuatu untuk menolong atau menyelamatkan nyawa orang lain. Manusia tampaknya hanya acuh dengan dirinya atau tak berani keluar dari diamnya meski terkait nyawa orang lain.
Fenomena diam
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut bystander effect (Darley dan Latane, 1968). Istilah bystander mengacu kepada kejadian tragis yang menimpa Kitty Genovese. Genovese berusia 28 tahun diserang, diperkosa, dan ditikam hingga mati oleh sekelompok orang pada malam tahun 1965 di New York, Amerika Serikat. Ia berteriak-teriak meminta tolong, namun tak seorang pun keluar dari apartemen, sekalipun mereka mendengar teriakan Genovese.
Fenomena bystander effect jamak terjadi. Secara psikologis hal ini berlangsung karena beberapa sebab. Sebagian orang barangkali tidak mau terlibat konflik dengan pihak lain, karena sekali saja seseorang membantu si anak, seperti pada kasus Engeline, maka mereka akan dianggap penyerang oleh pihak keluarga. Belum lagi ketakutan jika terjadi kesalahan penilaian terlepas dari tanda-tanda tak wajar yang seharusnya sudah memicu kecurigaan.
Orang juga sering tak bertindak karena takut mengambil risiko. Mereka tak mau dianggap mencampuri urusan orang lain. Di Polandia, ada idiom terkenal, "not my circus, not my monkey". Itu bukan urusan saya.
Orang juga cenderung bersikap pasif karena berharap orang lain yang melakukan. Darley dan Latane (1968) menyebutnya sebagai difusi tanggung jawab. Sehingga, walau tahu bahwa bertindak adalah hal yang benar, namun mereka terjebak dalam sikap saling menunggu.Semakin banyak pengamat di sekitar,semakin besar peluang setiap orang untuk diam-diam melempar tanggung jawab kepada pihak lain.
Hal-hal tersebut sering membuat orang menghadapi pilihan dilematis: melakukan sesuatu yang bisa menyelamatkan anak atau hanya menjadi pengamat bisu, sungguhpun mereka mengetahui bahwa ada yang salah.
Tidak ada yang berpikir bahwa semua orang dapat menjadi inisiator tanpa harus menunggu orang lain bila sesuatu yang tak wajar terjadi.
Sedikit yang bertindak
Survei Safe Horizon (2008), lembaga di AS yang melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menunjukkan bahwa 78 persen orang mempunyai cukup alasan untuk melaporkan kekerasan terhadap anak, namun hanya 19 persen dari mereka yang menghubungi layanan perlindungan anak, dan 6 persen yang memberitahu polisi.
Pencegahan kasus kekerasan domestik dalam keluarga adalah tanggung jawab semua orang, namun pada kenyataannya hanya sebagian kecil yang berani bertindak nyata dan keluar dari sekadar pengamat bisu.
Sebenarnya, tanpa disadari masyarakat sudah mampu mengenali gejala ketidakwajaran anak yang mengalami abuse, seperti anak terlihat lusuh, kurus, kurang gizi, penyendiri. Masyarakat juga sering melihat langsung anak yang dibentak dan dipukul, namun kenyataannya tak banyak dari kita yang berani berinisiatif bertindak, bahkan untuk sekadar mencari tahu apakah yang sesungguhnya terjadi. Sadar atau tidak, kita telah terlibat dalam aksi pembiaran kekerasan di sekitar kita.
Siapa pun kita, punya peran penting untuk bisa menghentikan kekerasan domestik di lingkungan sekitar. Jangan hanya menjadi bystander, yang hanya menjadi bagian difusi tanggung jawab dengan melempar insiatif bertindak kepada orang lain.
Kasus Engeline terjadi karena semua orang diam. Kebisuan kita secara tak langsung ikut berperan terhadap kepergiannya.
Jangan lagi ada tragedi ini. Mari bersama berjanji bahwa kita tidak akan pernah lagi diam dan membiarkan kekerasan terjadi di sekitar kita.
Rahkman Ardi
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Kandidat Ph.D di Universitas Warsawa
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juni 2015"

Rabu, 04 Februari 2015

Warren Buffet  

There was a one-hour interview on CNBC with Warren Buffet, the second richest man who has donated $31 billion to charity. Here are some very interesting aspects of his life: 
He bought his first share at age 11 and he now regrets that he started too late!
He bought a small farm at age 14 with savings from delivering newspapers.
He still lives in the same small 3-bedroom house in mid-town Omaha, that he bought after he got married 50 years ago. He says that he has everything he needs in that house. His house does not have a wall or a fence.
He drives his own car everywhere and does not have a driver or security people around him.
He never travel by private jet, although he owns the world's largest private jet company.
His company, Berkshire Hathaway, owns 63 companies. He writes only one letter each year to the CEOs of these companies, giving them goals for the year. He never holds meetings or calls them on a regular basis. He has given his CEO's only two rules:
Rule number 1: do not lose any of your shareholder's money.
Rule number 2: do not forget rule number 1.
He does not socialize with the high society crowd. His past time after he gets home is to make himself some pop corn and watch television.
Bill Gates, the world's richest man met him for the first time only 5 years ago. Bill Gates did not think he had anything in common with Warren Buffet. So he had scheduled his meeting only for half hour. But when Gates met him, the meeting lasted for ten hours and Bill Gates became a devotee of Warren Buffet.
Warren Buffet does not carry a cell phone, nor has a computer on his desk.
His advice to young people: "Stay away from credit cards and invest in yourself and remember:
Money doesn't create man but it is the man who created money.
Live your life as simple as you are.
Don't do what others say, just listen to them, but do what you feel good.
Don't go on brand name; just wear those things in which you feel comfortable.
Don't waste your money on unnecessary things; just spend on them who really in need rather.
After all it's your life then why give chance to others to rule our life."

by : Peter Gontha